Tuesday 17 November 2015

GUSUR


ADA kisah terkenal yang kerap diceritakan dengan luar biasa oleh Kiai Sejuta Umat, Zainuddin MZ. Saya mendengarnya sejak kecil karena sering diputar di masjid kampung menjelang magrib tiba. Masjid kami agak berbeda. Bukan pengajian atau selawatan yang dilantunkan, tapi ceramah kiai ini yang dihadirkan. Hebatnya, kami yang masih anak-anak mendengarkannya sambil berlari berebut bola sepak di tanah lapang di depan masjid. Dan setiap mendengar kisah ini diceritakan, ada perasaan haru biru membuncah di dada. Ini kisah tentang pemimpin yang luar biasa, Umar ibn Khattab. Kisahnya tentang seorang Yahudi yang punya rumah di samping masjid raya. Awalnya masjid ini tidak besar. Seiring perkembangan waktu, tentu saja jemaah masjid bertambah banyak sehingga butuh perluasan. Penguasa daerah masjid itu berada lalu mengusulkan pemugaran. Setelah rencana dan rancangan selesai ditetapkan, dimulailah prosesnya. Sayangnya ada yang terlupa. Di samping masjid ada rumah seorang Yahudi. Demi agama, sang penguasa kota pun seolah tak peduli. Setuju tidak setuju, suka tidak suka, mau tidak mau, Yahudi itu harus pergi. Kepentingan umum lebih layak didahulukan daripada kepentingan pribadi. Sayangnya, Yahudi itu juga tak peduli. Ia kukuh bertahan. Tanah pribadi tetap milik pribadi. Meski atas nama agama dan umum, kepemilikan pribadi harus dihormati. Mufakat pun tak terjadi. Hasilnya, si Yahudi tentu saja tersingkir. Kekuatannya tak memadai. Meski demikian, ia ingat bahwa di atas penguasa kota ada penguasa bangsa. Dengan dialah ia akan meminta keadilan. Datanglah ia ke sana. Berpeluh keringat dan tenaga ia arungi padang pasir demi menuntut sepotong empati dari penguasa negeri. Bertemulah ia akhirnya dengan penguasa sejati. Tak punya istana dan singgasana. Terkejutlah dirinya bukan kepalang. Di tengah rasa heran, disampaikanlah semua rasa sedih yang menimpanya. Tanpa banyak bicara, diambillah tulang dan digoreslah sisinya dengan pedang. "Berikan pada penguasa kotamu. Katakan ini dari Umar." Keheranan pun bertambah. Yang ia tuntut rasa keadilan, tapi yang didapat sepotong tulang. Pulanglah ia dan kembali mengarungi padang pasir yang terik. Setibanya di kota tempat tinggalnya, ia masuk ke tempat sang penguasa dan memberikan tulang tergores itu, sambil mengatakan bahwa al-Faruq sang Khalifah menitipkan itu untuknya. Keajaiban pun terjadi. Muka sang penguasa pucat seperti mayat. Ia panggil sang mandor dan menyuruhnya menghentikan pembangunan. Rumah Yahudi pun dikembalikan seperti sediakala. Kini si Yahudi yang terkejut. Sepotong tulang tergores pedang bisa menghentikan ambisi yang dibalut demi agama dan kepentingan umum. Akhir kisah, Yahudi itu masuk Islam dan merelakan rumahnya digusur. Hari ini, masihkah ada pemimpin yang terkejut dan takut dengan tulang yang tergores pedang!?

Karya ini merupakan salah satu pionir penulisan sejarah tentang Umar bin Khaththab,
karya Syekh Maulana Shibli Nu'mani

Monday 9 November 2015

RATU ADIL DALAM KONSEP ORANG EIPOMEK


“Koyeidaba pun dibunuh serta disembelih. Daging tubuhnya dibagi rata. Mereka percaya kekuatannya akan menular. Saudara perempuannya yang bernama Nooku juga dikejar dan dipanah. Namun, sebelum sempat dibunuh, Nooku secara aneh menghilang ke arah barat, sambil menyebut segala malapetaka yang akan terjadi dan berjanji akan datang kembali. Sejak saat itu masyarakat Mek mengalami kesusahan yang berkepanjangan akibat kesalahan mereka sendiri. Dalam kesengsaraan yang tiada tara itu, mereka selalu menunggu kehadiran Nooku untuk memberi kembali kemakmuran yang pernah mereka rasakan.”[1]
  
1

Masyarakat suku bangsa Mek mendiami daerah pegunungan yang ketinggiannya mencapai 1.765 meter di atas laut. Orang Mek menyebut dirinya me,yang berarti manusia. Mereka terdiri atas lima subsuku bangsa. Masing-masing adalah Eguwai, Mogopiya, Iyatuma, Wodatuma, dan Makituma. Menurut catatan, luas seluruh wilayah Mek mencapai 855,64 km persegi, dengan permukiman masyarakat yang menyebar di berbagai tempat. Di antara begitu luas wilayah dan sebaran penduduk, ada masyarakat yang tinggal di sekitar Lembah X, yang sering disebut suku Eipomek, atau manusia yang tinggal di daerah Sungai Eipo.
Seperti masyarakat Mek lainnya, adat dan budaya suku Eipomek tak banyak berbeda. Mata pencarian pokok mereka adalah bercocok tanam di ladang. Bila diamati, orang Mek mempunyai perawakan tubuh yang kecil (pygmoid). Mereka mendiami rumah-rumah yang berupa pondok-pondok. Rumah itu dibuat dari bahan pilihan. Papan-papan  didirikan secara vertikal dan diletakkan sangat rapat tanpa celah. Papan itu diikat dengan simpul-simpul tali yang indah. Atap juga disusun tak bercelah dengan bahan dari kulit kayu dan daun pandan atau palma. Bentuk rumah mereka panjang dan bulat dengan tinggi sekitar 3 meter. Rumah-rumah tradisional umumnya dibuat tanpa jendela. Lantainya dari papan kulit nibun. Di tengah-tengah kamar ada tungku api sebagai tempat memasak.
Meski tampak sederhana, seorang antropolog dari Belanda, Jan Boelaars menyebut masyarakat Mek bukan suatu suku bangsa yang miskin dan terbelakang, yang menunggu saat-saat kepunahan. Justru di sana kita akan menemukan orang-orang yang tahu dengan baik bagaimana membangun dunia mereka yang kecil itu berdasarkan kebun-kebun, wanita-wanita, dan uang siput. [2]
Senada dengan Boelaars, saya melihat kekuatan pribadi orang-orang Eipomek itu disebabkan tempaan pengalaman yang kerap mereka alami. Berbagai upacara dan kebiasaan yang dilakukan mengindikasikan bahwa mereka mempunyai wilayah sendiri yang dihayati dengan sepenuh hati. Inilah kekuatan rohani yang membuat mereka sanggup bertahan di tengah kondisi lingkungan yang sungguh ekstrem itu. Mereka yakin bahwa suatu saat kehidupan mereka akan menjadi lebih baik. Kekuatan rohani itu pula yang membuat mereka menjaga dengan sangat rapat wilayahnya ketika orang luar ingin masuk ke dalamnya.
Meski orang Mek sering disebut sangat tertutup dan menjaga relasi kekerabatannya dengan ketat, hubungan dengan pihak luar justru berlangsung sebaliknya. Mereka adalah bangsa yang ramah dan mudah diajak berkomunikasi. Dalam kaitannya dengan pihak luar, suku Mek pertama kali bertemu dengan kaum pendatang pada tahun 1935. Saat itu sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Dr. Bjilmer telah masuk sampai ke daerah Mapia.
Keramahan orang Mek kepada tamu dari luar memang punya dasar. Seperti halnya dalam beberapa kepercayaan suku-suku di Papua, orang Mek juga sangat yakin bahwa pada suatu waktu akan datang seorang “tamu” yang akan membawa mereka ke dalam sebuah masa keemasan dan kemakmuran. Keyakinan inilah yang membuat mereka tetap hidup. Inilah ruh dari harapan yang terus diidam-idamkan orang Mek, dan juga masyarakat Papua lainnya.

2

Seperti suku bangsa lainnya, orang Mek juga memiliki harapannya sendiri. Keinginan itu dibangun berdasarkan situasi dan kondisi yang mereka alami, yang titik akhirnya berpusat pada keadaan hidup yang lebih baik. Bagi masyarakat Jawa, konsep harapan akan sesuatu yang baik sering diasosiasikan dengan kedatangan “Ratu Adil” yang akan membawa mereka kepada kehidupan yang lebih adil dan sejahtera. Di dalam konteks Islam, orang sering menyebutnya dengan nama Imam Mahdi. Bagi yang percaya, Imam Mahdi ini nantinya akan muncul untuk membantu masyarakat Islam melawan Dajjal.
Kepercayaan-kepercayaan yang tumbuh dalam kaitannya dengan dunia harapan yang lebih baik juga dimiliki oleh masyarakat yang tinggal di Papua. Di dalam kebudayaan suku-suku di Papua ada suatu kepercayaan yang tersebar luas dan dikenal dengan beraneka nama, seperti wae, hae, dan sego-sego. Akan tetapi, di dalam ilmu antropologi budaya hal itu dicakup dengan istilah asing cargo cult(kargoisme).[3] Inti dari kepercayaan tersebut adalah tiap-tiap suku percaya bahwa di zaman dahulu ada satu atau beberapa orang leluhurnya yang merantau ke daerah yang jauh sekali untuk mencari kekayaan atau harta karun. Pada suatu waktu mereka akan datang kembali dan membawa harta itu untuk dibagikan kepada semua anggota suku.
Gerakan kargo ini sebenarnya lebih berhubungan dengan sifat religius atau keagamaan. Gerakan ini biasanya muncul dari seseorang yang mendapat “pesan” tertentu yang isinya mengatakan bahwa ia diberi tugas untuk membawa masyarakat ke dalam dunia yang lebih baik. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa si mesias bisa datang dari orang suku tersebut atau orang luar yang dianggap mempunyai kemampuan untuk itu. Pada suku Mek, mereka percaya bahwa misionaris memiliki kunci gaib yang dapat dipakai untuk mendatangkan kekayaan materi yang diduga disimpan di bawah tanah. Barang-barang yang dimaksud itu adalah kampak, parang, garam, beras, dan barang mewah lain. Mereka percaya bahwa “orang asing” itu mampu memanipulasi kekuatan roh yang memberi kargo. Buktinya, menurut mereka, misionaris dapat hidup dalam kondisi berkecukupan. Tak mengherankan jika nama orang-orang asing bisa terus dikenang mereka, baik dalam percakapan biasa maupun dalam upacara adat. Mereka dianggap saudara yang pergi jauh, yang nantinya akan memberi kemakmuran kepada mereka. Seorang “ratu adil” yang kerap ditunggu, meskipun dalam wujud anak atau cucunya.
Kisah-kisah dan kepercayaan seperti ini tidak hanya dipakai untuk mengidentifikasikan diri dengan nenek moyang yang biasanya mempunyai kekuatan-kekuatan supranatural yang tinggi. Bagi masyarakat Papua, kisah-kisah itu adalah dasar pijakan untuk melihat masa depan. Di dalamnya terdapat begitu banyak petunjuk yang akan menjadi pedoman di dalam kehidupan mereka selanjutnya. Seluruh peristiwa yang pernah dialami nenek moyang mereka menjadi ciri-ciri tertentu pada keadaan dan kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, segala macam penjelasan mengenai keadaan dunia dan kehidupan manusia dapat ditemukan di dalamnya.
          Selain itu, dalam konteks masyarakat Papua, kisah-kisah lama juga mencerminkan harapan-harapan akan kedamaian abadi, kesehatan, kesejahteraan, cinta kasih, kebebasan, dan keselamatan di masa depan. John G. Strelan menyebut ada lima tema yang kerap menjadi pokok pikiran dalam mitos-mitos masyarakat di Papua. Yang pertama berupa perselisihan antarumat manusia. Tema kedua membicarakan pertentangan dua orang bersaudara. Hilangnya taman Eden atau Firdaus yang pernah dialami dan disaksikan leluhur mereka di masa lampau akibat kelalaian dan pelanggaran suatu kelompok masyarakat merupakan tema ketiga. Yang keempat adalah kepercayaan bahwa sejarah kehidupan manusia yang penuh dengan tekanan dan kemiskinan akan berakhir dan diganti dengan era baru. Yang terakhir berhubungan dengan kedatangan seorang juru selamat atau mesias bersama-sama dengan leluhur mereka untuk membawa mereka kembali ke zaman keemasan dan keadilan.[4]
Harapan-harapan yang tercermin dari tema-tema cerita dan kepercayaan masyarakat itu tentunya menimbulkan asumsi bahwa selama ini mereka hidup di dalam suatu kondisi tertentu, sehingga imajinasi mereka kerap dipenuhi harapan-harapan mengenai kehidupan yang lebih baik. Imajinasi inilah yang telah memberikan harapan hidup dan memupuk daya tahan spritual mereka. Di tengah kondisi geografis dan kehidupan sosial yang memprihatinkan, mereka mampu memaknai hidup dan sanggup bertahan. Inilah fungsi utama kepercayaan mereka, dan juga sebuah kearifan budaya yang patut dicontoh.
Meski demikian, kita juga disadarkan bahwa mereka secara tidak langsung menginginkan sebuah kehidupan yang lebih baik, seperti yang dialami tamu-tamu mereka yang datang dari luar. Bila dicermati lebih dalam, tamu-tamu itu akhirnya bukan hanya seorang “mesias” atau “ratu adil”. Dalam konteks sekarang, tamu-tamu itu adalah saudara sebangsa yang peduli dengan keinginan mereka untuk hidup lebih baik.

 PUSTAKA ACUAN
Alua, A. Agus., “Suku Ekagi di Kabupaten Paniai” dalam Etnografi Irian Jaya: Panduan Sosial Budaya Buku Kesatu. Kelompok Peneliti Etnografi Irian Jaya, 1993.
Boelaars, Jan., Manusia Irian: Dahulu, Sekarang, Masa Depan., Jakarta: PT Gramedia, 1986.
Giay, Benny., Kargoisme di Irian Jaya. Irian Jaya: Region Press, 1986.
Koentjaraningrat, dkk., Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Djambatan, 1993.
Kasiepo, Manuel, dkk. Pembangunan Masyarakat Pedalaman Irian Jaya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.

[1] Kisah makhluk ideal yang bernama Koyeidaba ini secara lengkap dapat dibaca di dalam skripsi sarjana muda STTK tahun 1979 yang dibuat oleh Bosco Thom Agapa pada halaman 19-26. Pun pada skripsi sarjana muda Uncen 1979 yang dibuat oleh Victor P.F. Kudiyay di halaman 25-27.
[2] Lihat Jan Boelaars (1986), hlm. 86
[3] Mengenai gerakan kargoisme di Papua, lihat karya Benny Giay, Kargoisme di Irian Jaya (1986)
[4] Lihat Search for Salvation (1977) karya John G. Strelan hlm. 60-61